SAWIT DAN ASAP
Perkebunan kelapa sawit kita
sering dituduh sebagai penyebab kebakaran alam lingkungan. Mungkin lebih tepat menggunakan istilah
kebakaran alam lingkungan ini dari pada kebakaran lahan atau kebakaran hutan
mengingat pada kenyataannya yang rusak adalah alam lingkungan kita baik berupa
lingkungan biotik maupun abiotik; lingkungan global maupun lingkungan lokal;
atau baik lingkungan sekarang maupun lingkungan yang akan datang. Mencari hubungan langsung antara perkebunan
kelapa sawit dengan asap yang menyesakkan itu tentu sulit. Bahkan kita sering mendengar argumen bahwa
tidak mungkin perusahaan perkebunan membakar kebunnya sendiri, yang tentu akan
merugikannya. Argumen ini benar dengan
sendirinya, tetapi ia keluar dari konteks permasalahan yaitu asap yang menyebar
kemana-mana itu berasal dari persiapan lahan menggunakan api untuk membersihkan
berbagai hal yang mengganggu diselenggarakannya budidaya tanaman tertentu. “Teknologi” penggunaan api merupakan teknologi
yang paling murah, modalnya cuma korek api.
Jadi kaitannya sangat jelas, yaitu proses pembukaan atau persiapan
lahan, bukan dengan kebun yang sudah jadi.
Apakah peraturan perundangan yang
ada membolehkan penerapan api tersebut? Tentu tidak. Tetapi mengapa semakin
tebal dan luas saja penyebaran asap sebagai penggangu kehidupan manusia dan
makhluk lainnya dai tanah air kita?
Inilah persoalannya. Dalam ilmu
ekonomi kelembagaan, fenomena tersebut dijelaskan oleh teori bahwa hak
kepemilikan semata tidak dapat mengendalikan sumber interdependensi dari
sesuatu, situasi dan kondisi yang selain dicirikan oleh karakteristik
inkompatibilitas juga dicirikan oleh biaya pengawasan/penindakan yang
tinggi. Kegiatan pembukaan lahan dengan
cara membakar dicirikan oleh karakteristik tersebut.
Kalau asap dianalogikan serupa
sampah yang dibuang secara sembarangan oleh rumah tangganatau institusi
komersial seperti kantor atau restoran, maka pertanyaannya mengapa hal tersebut
terus terjadi? Disebut terus karena
memang sampai saat sekarang, memilah sampah sejak dari sumbernya itu, misalnya,
kelihatannya baru sangat sedikit dilakukan padahal UU No. 18 tahun 2008 dan PP
No. 81 tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sejenis Sampah
Rumah Tangga sudah ditetapkan dan diberlakukan.
Apabila persoalan sampah lebih mudah dari persoalan asap, mengapa
persoalan sampah belum pisa kita selesaikan?
Dengan demikian bagaimana jadinya dengan persoalan asap? Di sinilah letak keberadaan peraturan dan
perundangannmemang merupakan prasyarat keharusan tetapi kehadirannya belumlah
cukup untuk bisa mengatasi permasalahan.
Apa hal fundamental untuk
mengatasi permasalahan asap, sampah atau sejenisnya? Permasalahan pokok kita adalah perlunya
melahirkan dan menghidupkan kesadaran baru sebagai wujud budaya baru tentang
pentingnya melakukan pembelajaran.
Kesadaran baru akan melahirkan perilaku baru tanpa didahului oleh
perhitungan untung rugi plus peluang tertangkap polisi dan mendapatkan hukuman
dari perilaku yang dilakukannya.
Kesadaran baru merupakan etika baru dalam membangun perkebunan yang
mencegah terjadinya kebakaran alam lingkungan.
Ini disebut learned behavior.
Jadi tanpa kesadaran baru
tersebut bagaimana mungkin kita bisa melagukan “ hiduplah tanahku hiduplah
negeriku” menjadi kenyataan apabila sejak niatnya sudah dikotori bahwa ia akan
membakar alam lingkungan tanpa berempati dan simpati kepada pihak lain atau
seluruh isi alam ini, kecuali untuk menekan biaya pembukaan lahan
semurah-murahnya? Kita perlu membangun
sikap mental siapa pun yang menjadi penyebab ataupun yang menyebabkan alam
sekitar dibakar, perbuatan itu merupakan perbuatan yang bertentangan dengan
keluhuran nilai yang diajarkan leluhur kita yang arif-budiman terhadap alam
sekitarnya. Karena itu ia merupakan perbuatan
selain melanggar norma luhur di ata, juga melanggar norma hukum formal dan
terlebih lagi merupakan perbuatan hina karena mengambil keuntungandari
pengorbanan manusia dan seisi alam yang merugi akibat api, asap dan polusi yang
disebarkannya.
Perlu kita ingat bahwa sejarah
mengajarkan perkembangan hubungan manusia dengan alam sekitar dalam rangka
memenuhi keberlanjutan tingkat kehidupannya.
Tingkat pertama adalah berburu dan meramu; kemudian berubah menjadi
perladangan berpindah-pindah; setelah itu berkembang pertanian menetap dan
selanjutnya lahir industri dan jasa yang menambah kompleksnya tingkat kehidupan
manusia. Dalam semua tingkat peradaban
tersebut terdapat peran api dalam memenuhi kehidupan masyarakat. Api menjadi teknologi penting dalam
berburu. Peran api meningkat pada
masyarakat perladangan berpindah. Dalam
pertanian menetap dan masyarakat industri itupun api sangat diperlukan. Pada intinya kita tidak bisa lepas dari api.
Namun, perlu diingat pula bahwa
sekarang ini kita sudah berada pada dekade ke-2 abad ke-21, apakah pantas kita
menggunakan api untuk membuka lahan perkebunan sehingga menghasilkan dampak
eksternal asap seperti yang kita saksikan?
Jangan-jangan apabila kobaran api akibat asap ini dimasukkan ke dalam
biaya membangun perkebunan, pada tingkat harga CPO sekarang kita berada pada
posisi merugi. Bayangkan kita harus
masukkan, misalnya, biaya akibat sesak nafas dan munculnya berbagai penyakit
lain; terganggunya hubungan internasional; terganggunya jasa penerbangan,
pelayaran dan transportasi darat dan dampak kepunahan banyak spesies akibat
dari terbakarnya hutan, ladang dan ekosistem secara keseluruhan. Kita tidak mungkin hidup tanpa adanya
lingkungan yang sehat, yang kaya, yang makmur, yang bersahabat dan yang
semuanya memberikan manfaat bagi semua makhluk.
Persoalan asap merupakan simbol
ketidakpedulian kita terhadap alam lingkungan kita. Karena kita bagian dari alam lingkungan itu,
maka kita pun menjadi tidak peduli terhadap diri kita sendiri. Dari pemikiran ini lahir pertanyaan: Siapa
kita ini? Apakah para pembakar,
pendukung pembakar atau pelopor pembakar
alam lingkungan itu bagian dari kita? Mereka
yang memenuhi kriteria tersebut dengan sendirinya mereka memisahkan dirinya
bukan menjadi bagian dari kita. Argumen
ini didasari oleh fakta bahwa mereka telah membakar rumah kita, alam lingkungan
kita. Sayang sekali undang-ungang
perkebunan yang baru saja direvisi menghilangkan ketegasan fungsi perkebunan
dalam undang-undang sebelumnya, yaitu fungsi ekonomi, ekologi dan sosial
budaya.