Jumat, 26 Februari 2016

SAWIT DAN ASAP



SAWIT DAN ASAP

Perkebunan kelapa sawit kita sering dituduh sebagai penyebab kebakaran alam lingkungan.  Mungkin lebih tepat menggunakan istilah kebakaran alam lingkungan ini dari pada kebakaran lahan atau kebakaran hutan mengingat pada kenyataannya yang rusak adalah alam lingkungan kita baik berupa lingkungan biotik maupun abiotik; lingkungan global maupun lingkungan lokal; atau baik lingkungan sekarang maupun lingkungan yang akan datang.  Mencari hubungan langsung antara perkebunan kelapa sawit dengan asap yang menyesakkan itu tentu sulit.  Bahkan kita sering mendengar argumen bahwa tidak mungkin perusahaan perkebunan membakar kebunnya sendiri, yang tentu akan merugikannya.  Argumen ini benar dengan sendirinya, tetapi ia keluar dari konteks permasalahan yaitu asap yang menyebar kemana-mana itu berasal dari persiapan lahan menggunakan api untuk membersihkan berbagai hal yang mengganggu diselenggarakannya budidaya tanaman tertentu.  “Teknologi” penggunaan api merupakan teknologi yang paling murah, modalnya cuma korek api.  Jadi kaitannya sangat jelas, yaitu proses pembukaan atau persiapan lahan, bukan dengan kebun yang sudah jadi.
Apakah peraturan perundangan yang ada membolehkan penerapan api tersebut? Tentu tidak. Tetapi mengapa semakin tebal dan luas saja penyebaran asap sebagai penggangu kehidupan manusia dan makhluk lainnya dai tanah air kita?  Inilah persoalannya.  Dalam ilmu ekonomi kelembagaan, fenomena tersebut dijelaskan oleh teori bahwa hak kepemilikan semata tidak dapat mengendalikan sumber interdependensi dari sesuatu, situasi dan kondisi yang selain dicirikan oleh karakteristik inkompatibilitas juga dicirikan oleh biaya pengawasan/penindakan yang tinggi.  Kegiatan pembukaan lahan dengan cara membakar dicirikan oleh karakteristik tersebut.
Kalau asap dianalogikan serupa sampah yang dibuang secara sembarangan oleh rumah tangganatau institusi komersial seperti kantor atau restoran, maka pertanyaannya mengapa hal tersebut terus terjadi?  Disebut terus karena memang sampai saat sekarang, memilah sampah sejak dari sumbernya itu, misalnya, kelihatannya baru sangat sedikit dilakukan padahal UU No. 18 tahun 2008 dan PP No. 81 tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sejenis Sampah Rumah Tangga sudah ditetapkan dan diberlakukan.  Apabila persoalan sampah lebih mudah dari persoalan asap, mengapa persoalan sampah belum pisa kita selesaikan?  Dengan demikian bagaimana jadinya dengan persoalan asap?  Di sinilah letak keberadaan peraturan dan perundangannmemang merupakan prasyarat keharusan tetapi kehadirannya belumlah cukup untuk bisa mengatasi permasalahan.
Apa hal fundamental untuk mengatasi permasalahan asap, sampah atau sejenisnya?  Permasalahan pokok kita adalah perlunya melahirkan dan menghidupkan kesadaran baru sebagai wujud budaya baru tentang pentingnya melakukan pembelajaran.  Kesadaran baru akan melahirkan perilaku baru tanpa didahului oleh perhitungan untung rugi plus peluang tertangkap polisi dan mendapatkan hukuman dari perilaku yang dilakukannya.  Kesadaran baru merupakan etika baru dalam membangun perkebunan yang mencegah terjadinya kebakaran alam lingkungan.  Ini disebut learned behavior.
Jadi tanpa kesadaran baru tersebut bagaimana mungkin kita bisa melagukan “ hiduplah tanahku hiduplah negeriku” menjadi kenyataan apabila sejak niatnya sudah dikotori bahwa ia akan membakar alam lingkungan tanpa berempati dan simpati kepada pihak lain atau seluruh isi alam ini, kecuali untuk menekan biaya pembukaan lahan semurah-murahnya?  Kita perlu membangun sikap mental siapa pun yang menjadi penyebab ataupun yang menyebabkan alam sekitar dibakar, perbuatan itu merupakan perbuatan yang bertentangan dengan keluhuran nilai yang diajarkan leluhur kita yang arif-budiman terhadap alam sekitarnya.  Karena itu ia merupakan perbuatan selain melanggar norma luhur di ata, juga melanggar norma hukum formal dan terlebih lagi merupakan perbuatan hina karena mengambil keuntungandari pengorbanan manusia dan seisi alam yang merugi akibat api, asap dan polusi yang disebarkannya.
Perlu kita ingat bahwa sejarah mengajarkan perkembangan hubungan manusia dengan alam sekitar dalam rangka memenuhi keberlanjutan tingkat kehidupannya.  Tingkat pertama adalah berburu dan meramu; kemudian berubah menjadi perladangan berpindah-pindah; setelah itu berkembang pertanian menetap dan selanjutnya lahir industri dan jasa yang menambah kompleksnya tingkat kehidupan manusia.  Dalam semua tingkat peradaban tersebut terdapat peran api dalam memenuhi kehidupan masyarakat.  Api menjadi teknologi penting dalam berburu.  Peran api meningkat pada masyarakat perladangan berpindah.  Dalam pertanian menetap dan masyarakat industri itupun api sangat diperlukan.  Pada intinya kita tidak bisa lepas dari api.
Namun, perlu diingat pula bahwa sekarang ini kita sudah berada pada dekade ke-2 abad ke-21, apakah pantas kita menggunakan api untuk membuka lahan perkebunan sehingga menghasilkan dampak eksternal asap seperti yang kita saksikan?  Jangan-jangan apabila kobaran api akibat asap ini dimasukkan ke dalam biaya membangun perkebunan, pada tingkat harga CPO sekarang kita berada pada posisi merugi.  Bayangkan kita harus masukkan, misalnya, biaya akibat sesak nafas dan munculnya berbagai penyakit lain; terganggunya hubungan internasional; terganggunya jasa penerbangan, pelayaran dan transportasi darat dan dampak kepunahan banyak spesies akibat dari terbakarnya hutan, ladang dan ekosistem secara keseluruhan.  Kita tidak mungkin hidup tanpa adanya lingkungan yang sehat, yang kaya, yang makmur, yang bersahabat dan yang semuanya memberikan manfaat bagi semua makhluk.
Persoalan asap merupakan simbol ketidakpedulian kita terhadap alam lingkungan kita.  Karena kita bagian dari alam lingkungan itu, maka kita pun menjadi tidak peduli terhadap diri kita sendiri.  Dari pemikiran ini lahir pertanyaan: Siapa kita ini?  Apakah para pembakar, pendukung pembakar  atau pelopor pembakar alam lingkungan itu bagian dari kita?  Mereka yang memenuhi kriteria tersebut dengan sendirinya mereka memisahkan dirinya bukan menjadi bagian dari kita.  Argumen ini didasari oleh fakta bahwa mereka telah membakar rumah kita, alam lingkungan kita.  Sayang sekali undang-ungang perkebunan yang baru saja direvisi menghilangkan ketegasan fungsi perkebunan dalam undang-undang sebelumnya, yaitu fungsi ekonomi, ekologi dan sosial budaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tambahkan Komentar

Sekolah Lapang Budidaya Ulat Sutera

SEKOLAH LAPANG BUDIDAYA ULAT SUTERA Sekolah Lapang Budidaya Ulat Sutera Sekolah lapang adalah kegiatan proses belajar mengajar deng...