LADA SEBAGAI TANAMAN SELA KARET
Lada pada Kebun Karet |
Harga
komoditas lada saat ini sengat menjanjikan sehingga di beberapa wilayah
indonesia banyak petani yang membudidayakan lada. Untuk meningkatkan nilai ekonomi laha dapat
dikembangkan pola agroforeStri untuk menambah jenis tanaman didalam lahan. Untuk luas lahan yang sama akan dihasilkan
nilai ekonomi yang lebih besar.
Bagi petani
lada yang pemilikan lahannya terbatas, pada saat ini ingin mengembangkan komoditas
yang memiliki nilai jual yang tinggi dan stabil. Berdasarkan kondisi ini,
beberapa petani yang pemilikan lahannya tidak terlalu luas, mulai mengembangkan
dua komoditi tersebut, yaitu dengan menanam lada sebagai tanaman sela karet,
jadi mengusahakan pola tanam karet dan lada (tumpangsari). Pola tanam
lada sebagai tanaman sela karet sudah dilaksanakan di Barzil dan Cina. Hasil
penelitian di Brazil menunjukkan bahwa dengan penanaman lada sebagai tanaman
sela karet dengan jarak tanam 5 m x 3 m, perkembangan jamur Phytophthora pada
tanaman lada dapat ditekan, dan tidak ada pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan
produksi dari kedua tanaman tersebut
Pola tanam ini dapat dipertahankan dalam
jangka waktu yang lama, yaitu sama dengan umur produktif karet (30 tahun).
Kondisi ini disebabkan teknik budidaya lada yang dikembangkan adalah dengan
menggunakan tiang panjat hidup dan dibiarkan sampai tinggi (10 – 15 m), sehinga
tanaman lada juga dapat merambat setinggi pohon panjatnya. Pohon panjat yang
umum digunakan adalah dadap (Erytrina spp), gamal (Glyricidia maculata) dan
kapuk atau randu (Ceiba pentandra).
Produksi
lada dalam pola karet - lada turun sekitar 25%, hal ini cukup wajar
karena populasi tanaman lada yang lebih sedikit, sedangkan tidak terlihat
pengaruh tanaman lada terhadap pertumbuhan karet seedling. Pada saat tanaman karet berumur 9 (sembilan)
dan 10 tahun, pertumbuhan lilit batangnya sedikit tertekan dengan adanya
tanaman lada sebagai tanaman sela karet, yaitu rata-rata tertekan sekitar 5 cm.
Kemungkinan besar pengaruh yang ditimbulkan bukan oleh tanaman lada saja, tapi
dari tanaman tiang panjatnya juga. Oleh karena itu, untuk pengembangan teknologi ke depan perlu tinga panjat
hidup yang memiliki pengaruh kompetisi yang sedikit, yaitu dengan tanaman dadap
cangkring.
Tanaman
karet yang ada di daerah penelitian sebagian besar merupakan tanaman seedling
(biji sapuan), sehingga memiliki potensi produksi yang sangat rendah dan matang
sadapnya terlambat. Rata-rata produksi karet yang terdapat tanaman sela ladanya
adalah 597 kg/ha/tahun karet kering, sedangkan produksi karet tanpa tanaman
sela sebesar 620 kg/ha/tahun karet kering. Perbedaan produksi karet sebagai
akibat adanya tanaman lada rata-rata hanya 23 kg/ha/tahun atau 3.5%, jadi
sangat sedikit sekali perbedaannya.
Efek dari
pengunaan tiang panjat yang tidak dilakukan pemangkasan atau dibiarkan tinggi
dalam pola karet - lada, maka tanaman lada dapat merambat tinggi dan mencari
sinar matahari sesuai kebutuhan fontosintesisnya. Kondisi mengakibatkan lada
dapat bertahan lama sebagai tanaman sela karet. Pada pola karet - lada produksi
lada menjadi lebih rendah sebesar 25 % bila dibandingkan dengan produksi pada
tanaman monokultur. Rendah produksi
lada pada pola karet - lada disebabkan oleh : jumlah tanaman lada sebagai
tanaman sela lebih rendah dari jumlah tanaman monokultur dan adanya kompetisi
unsur hara, udara (CO2) dan cahaya matahari antara tanaman lada dengan tanaman
karet. Meskipun demikian, produksi lada sebagai tanaman sela dapat mencapai
5000 – 5500 kg/ha/tahun pada saat tanaman karet berumur 20 dan 21 tahun.
Kendala
utama yang dihadapi petani bagi pengembangan pola karet - lada adalah : rendahnya
tingkat pengetahuan mengenai teknologi budidaya karet; kesuburan tanah
yang sangat rendah dan belum ada penangkar bibit karet yang dapat menyuplai
kebutuhan bahan tanam karet klon unggul di daerah sekitar sentra lada.
Sumber :
http://info-perkebunan.blogspot.co.id/2010/04/lada-sebagai-tanaman-sela-karet.html